Posts

Proud of Me.

Sering kali kita bangga pada orang lain tapi kita tidak pernah bangga dengan diri sendiri, karena mikirnya “hidup gue flat , gaada yang bisa dibanggain” “hidup gue gini-gini aja, gak kaya dia yang sukses” Padahal kan everyone is amazing with their own life, right? Jadi, aku bangga dengan diriku karena aku bisa jadi apa saja yang aku mau. Aku bisa jadi diri sendiri dimana pun dan kapan pun. Aku bisa jadi partner diskusi tentang hal apa pun. Aku bisa jadi partner gabutmu untuk pergi kemana pun. Aku bisa jadi manusia yang paling bisa diandalkan. Aku bisa jadi tempat berkeluh kesah yang paling sabar mendengarkan. Aku bisa jadi manusia gila dan apa adanya saat dikelilingi mereka yang membuatku nyaman. Aku bisa jadi manusia dengan tawa yang terbahak-bahak saat candaan receh sudah dilontarkan. Aku bisa jadi manusia pertama yang mengulurkan tangan saat kamu butuh bantuan. Aku bisa jadi manusia paling manja saat dikelilingi orang yang bisa menenangkan. Aku bisa jadi manusia pa

Moodope.

Image
Satu hal yang gue takutin pas masuk kuliah adalah ga punya temen. Karena rumornya kuliah adalah masanya individualisme, egois dan kejam. Tapi ternyata statement itu salah saat gue ketemu mereka. Kita dipersatukan atas dasar amarah, benci, iri, dengki, bahkan balas dendam. Sekumpulan manusia yang gayanya DPR tapi dompetnya UMR. Bermotto hidup BPJS, Budget Paspasan Jiwa Sosialita. Kebiasaannya bacot, ngumpat, makan, ngabisin duit, bacot, ngumpat, makan, ngabisin duit, repeat. Orang-orang yang gak pernah make otaknya karena emang gak ada yang punya. Kalo ngomong harus pake kata kasar karena itu adalah panggilan sayang sesama. Terdiri dari 1 emak, 8 anak kandung dan 1 anak pungut. So, inilah 9 manusia kesayangan gue di kelas. *** Wiwin . Manusia paling pelor. Gak memandang situasi apapun dia pasti memejamkan mata dengan tenang. Heran gue. Dia termasuk partner segalanya buat gue. Partner gabut, partner jalan, partner tidur, partner  hidup , gak ding. Bosen sih tapi y

Paguyuban Orang Julid.

Image
Berawal dari lulus ujian mandiri perguruan. Dipersatukan karena … entah pilihan atau kepasrahan. Yang tahu hanya Tuhan. Tapi, tak perlu disesalkan. Karena 2,5 tahun terakhir ini penuh dengan pelajaran dan kenangan. Inilah cerita kita; para calon akuntan. 1 st Awal perjalanan yang cukup menegangkan. Diiringi dengan keterasingan dan keluguan. Wajah-wajah polos tanpa make-up para perempuan. Dan kepala-kepala lelaki dengan kepelontosan. Masih jamannya sering tertukar bahkan lupa dengan nama teman. Oh ya, tak lupa dengan mata kuliah yang masih mudah ditaklukan. 2 nd Enam bulan terlawati. Mulai hafal dengan nama-nama teman sendiri. Mulai terbiasa dengan suasana kelas ini. Bahkan, kita berlibur bersama ke pantai. Ya walaupun penginapannya disponsori. Percayalah, saat itu, indahnya senja, lembutnya angin, dan deburan ombak di pantai .. .. menjadi lebih berarti. 3 rd Mulai susah mata kuliahnya. Mulai ter

Our Second Trip.

Image
Biasanya jam segini sedang dalam perjalanan untuk mencari makan malam. Atau masih terjebak di jalanan kaki gunung yang curam. Kanan kiri pohon bambu dan jurang yang membuat suasana jadi horror mencekam. Begitulah kita, kebiasaan sekali berpetang ria di alam. Lalu setelahnya, tak lupa mampir ke Mall untuk sekadar panjat sosial. Mulai dari Hartono Mall, Jogja City Mall sampai Ambarrukmo Plaza kita jajal. Karena kita pantang pulang sebelum badan pegal-pegal. Esoknya, kita bangun lalu bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Tak lupa duduk melingkar dahulu untuk menyantap sarapan. Atau terkadang masih tidur terlelap karena terlalu kelelahan. Eh Zidni sudah datang menjemput, ayo kita lanjut jalan! Sial, bisa serindu ini ya. Rindu jeritan hati Epek yang kesakitan karena terjepit di pojokan. Rindu lepasnya ketawa Coco waktu main tebak kata di jalan. Rindu menggigilnya komuk Ade waktu lagi di pemandian. Rindu berkhayal Ongek yang bakal tiba-tiba datang memberi

Random.

Image
Hm baiklah, sebelum blog ini semakin lumutan, gue bakal ceritain sesuatu yang terjadi beberapa hari lalu. Bukan, bukan tentang galau kok. Kaya judulnya, ini tentang kerandoman hari itu. Tepatnya saat May Day, maaf yah, kita emang paling gak bisa ngeliat harpitnas. Gatel itu pengen cabut. Btw ini bakal sedikit panjang, jadi siapin cemilan kalian! Ini semua berawal dari niatan Bonek, itu loh pendukung Persebaya sekumpulan manusia yang dipersatukan atas dasar amarah, benci, iri, dengki, bahkan balas dendam. Membernya ada yang paling sok perfect, paling sombong, paling bego, paling lambe turah, paling jablay, paling banyak utang, paling bucin, paling pasrah dan paling pelor. See? Kaga ada bagus-bagusnya itu jadi manusia. Oke lanjut, niatnya hanya bersepuluhan tapi karena tak adanya kendaraan dan kurang seru, jadinya mengajak manusia lain yang sejenis. Jadilah ada dua mobil, mobil bayu dan mobil alis sincan. Dengan segala wacana yang ada, bandung lah, bogor lah, akhirnya tetep

2017

Tahun baru. Identik dengan kembang api, terompet, konser musik, dan perayaan-perayaan lainnya yang memuakan telinga. Tunggu, itu hanya pendapatku, karena aku tidak terlalu suka keramaian. Aku lebih suka melewati tahun baru di rumah sambil menulis atau menonton film-film horror kesukaanku. Atau bahkan tertidur pulas dibawah selimut kesayangan adalah jalan terbaik untuk melewati malam pergantian tahun. Karena bagiku, semua malam itu sama saja. Selain ketenangan, aku suka memandangi langit-langit malam. Apalagi kalau banyak bintang-bintang yang mengelilingi bulan bergantung dengan manja di atas sana. Tapi hari ini, langit malam kesukaanku akan terganggu hidupnya dan akan terusik ketenangannya. Dia akan diserang bertubi-tubi oleh ratusan kembang api di seluruh penjuru dunia. Sungguh malang nasibnya. Untung saja langit malam kesukaanku tidak menyerang balik dengan ratusan kembang api. Kalau sampai itu terjadi, bisa musnah semua mahluk yang ada di bumi. Oh ya, tahun baru ini kamu kemana

Home.

Apa yang kalian pikirkan tentang rumah? Coba kutebak, sebuah tempat yang menghangatkan? Tempat istirahat terbaik? Atau malah sebuah tujuan? Aku menuliskan ini karena beberapa sahabatku pulang kemarin, dan kita berkumpul. Sekadar menceritakan apa saja yang kita lalui selama kita berjarak. Sampai pada saat aku bertanya “sampai kapan di sini?” “besok sore” katanya. “anjir. bentar banget. ngapain coba pulang?” kataku ketus tanpa dosa. “kan udah gue bilang, gue kangen rumah, kangen kalian juga ” jawabnya. Aku diam. Awalnya aku memang tidak terlalu mengerti bagaimana rasanya. Tapi tidak sampai ketika aku mendengar jawaban itu dengan serius disertai nada yang tegas. Ternyata, manusia sekuat dan setegar laki-laki pun kalau sudah saatnya pulang ke rumah, ya, dia akan pulang. Bagaimana pun caranya. Seharusnya aku tidak berhak menuliskan tentang ‘rumah’ karena setiap hari aku memang pulang ke rumah. Termasuk merasakan hangatnya suasana rumah. Tapi, bagaimana dengan